Angkie Yudistia adalah sebuah simbol. Dari sosoknya kita belajar bahwa
keterbatasan fisik justru bisa menjadi kelebihan. Meski menyandang
disabilitas, ia bukan tipe orang yang gampang menyerah dan hanya diam
berpangku tangan di rumah. Hari-harinya diisi pelbagai kesibukan sebagai
penulis buku, model, dan penggiat sosial. Dan di kala senggang, ia
membaca buku.
Aku menemukan kesan itu setelah pada sebuah siang berjumpa dengannya di
sebuah kafe di Senayan Trade City. Dari jauh, langkah kaki perempuan
jelita kelahiran Medan 5 Juni 1987 itu terayun ringan tapi penuh percaya
diri. Ia didamping Angel sahabatnya.
Senyumnya cerah, membuat wajahnya berseri-seri. Alat bantu dengar yang
menempel di kedua telinganya seperti sebuah penghias membuat wajahnya
tampak semakin memesona.
Angkie termasuk perempuan yang mudah akrab dengan orang. Meski baru
pertama kali berjumpa denganku, ia tak canggung melempar canda. Suaranya
yang melodius seolah mampu meredakan keriuhan suara pengunjung kafé.
Angkie menuturkan asal muasal dirinya kehilangan pendengaran. Waktu
kecil dulu dia sering sakit. Setiap kali sakit, dokter memberinya
antibiotik sampai sembuh. Begitu seterusnya. Ternyata antibiotik yang
seharusnya membawa kesembuhan malah mengubah jalan hidupnya. Ia tidak
bisa lagi mendengar suara-suara di sekitarnya.
Mula-mula ia tak menyadarinya. Sampai kemudian orang-orang menganggapnya
aneh karena setiap kali mereka memanggil namanya, Angkie dia saja.
Padahal dia tidak mendengar.
Beruntung Angkie memiliki keluarga yang selalu memberikan dukungan
kepadanya. Mereka selalu siap sedia mengantarkan dia berobat dan
mendampingi di kala sedih. Ia tak pernah berhenti berharap, suara-suara
yang hilang itu akan kembali didengarnya lagi. Tapi harapannya tak
kunjung terwujud. Lama-lama Angkie merasa sia-sia. Ia mulai letih.
"Keluarga adalah energi buat aku," kata Angkie. "Kasih sayang mereka tak pernah pupus."
Angkie merasa keluarganya tidak pernah membedakan dirinya dengan kawan
yang lain. Angkie pun tidak pernah disekolahkan di sekolah penyandang
disabilitas oleh orang tuanya. Orang tuanya ingin membuat Angkie merasa
bahwa dirinya tidak berbeda dengan yang lain.
Orang tuanya memandang bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dengan
kekurangan dalam dirinya, sehingga ia yakin bahwa keterbatasan dirinya
justru menjadi sebuah kelebihan.
Bagi Angkie, dunia model hanyalah kesibukan sampingan saja. Dia
menganggap dunia tersebut terlalu sempit bagi ide dan hasratnya pada
kehidupan. Ia ingin lebih fokus dengan pekerjaannya membantu
saudara-saudaranya yang menderita tuna rungu, khususnya anak-anak kurang
yang mampu.
Angkie lalu mendirikan Thisable Enterprise, perusahaan yang bertujuan
memberdayakan anak-anak penyandang disabilitas. "Para penderita tuna
rungu seperti saya perlu dibantu kepercayaan dirinya bahwa kekurangan
bukan sebuah bentuk alasan untuk tidak bisa maju dan hidup normal," kata
Angkie.
Di kantor yang berada di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, itulah kini
Angkie sibuk bekerja, termasuk rapat dengan tim atau mitra kerjanya.
"Tapi saya batasi dalam sehari saya hanya ikut satu kali rapat. Kalau
kebanyakan, saya pusing mengikuti gerak bibir orang-orang yang sedang
rapat, hahaha..." kata Angkie sambil tergelak.
"Apa yang Angkie rasakan saat mencopot alat bantu dengar?" tanyaku tiba-tiba.
Angkie hanya menjawab pendek, "Alone."
Judul : FOTO: Angkie Yudistia, Wanita Tunarungu Yang Sukses Menjadi CEO
Deskripsi : Angkie Yudistia adalah sebuah simbol. Dari sosoknya kita belajar bahwa keterbatasan fisik justru bisa menjadi kelebihan. Meski menyandan...